oleh: DR. Mohd. Sabri AR
Pendahuluan
Satu kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa di dalam tradisi filsafat Islam pengaruh filsafat Yunani cukup kuat. Tetapi hal ini tidak dengan sendirinya berarti jika semua pandangan filsuf Muslim selalu dicoraki filsafat Yunani. Ini dapat terlihat, pada awal kemunculan filsafat Islam, "aroma" teologi justru sangat menonjol. Al-Kindi umpamanya—sebagai filsuf Muslim pertama—lebih tampak sebagai filsuf yang punya kecenderungan teologis. Setidaknya, ia berdiri di tapal batas antara filsafat dan teologi. Perhatian al-Kindi terhadap teologi dimungkinkan sebagai upaya membendung arus pemikiran filosofis yang abstrak terhadap kepercayaan agama atau penundukan iman terhadap akal. Kasus seperti ini jelas sangat sulit dihindari oleh filsafat Islam. Karena itu, tidak mengherankan jika corak "teologis" tampak sangat kental di masa perkembangannya yang paling dini.
Sementara itu kehidupan intelektual Islam dan Kristen—dua peradaban bersaudara—pada abad pertengahan dapat dibandingkan satu sama lainnya dengan mengukur seberapa besar pengaruh filsafat Aristoteles di dalamnya. Filsafat Peripatetik bergulir ke dunia Barat melalui karya terjemahan bahasa Arab sekitar abad ke-7 H atau ke-13 M. Akibatnya, filsafat ini sangat dominan dan pada urutannya menggeser pemikiran Agustinian dan Platonis yang merajai pemikiran Barat terdahulu. Dari filsafat ini pula kelak melahirkan rasionalisme humanistic renaisans yang menjadi tonggak peradaban Barat. Dalam peradaban Islam, pada saat yang bersamaan, aspek rasionalitas filsafat tersebut justru mendapatkan badai kritik dari dua pihak: kaum sufi dan ulama kalam. Filsafat Aristotelianisme kemudian digantikan oleh ajaran sufi Muhyi al-Din ibn 'Arabi dan oleh Hikmat al-Isyraqiyyah atau kearifan iluminatif dari Syekh al-Isyraq Syihab al-Din Yahya ibn Habash ibn Amirak Suhrawardi yang juga tak kalah "rasional"-nya. Bahkan pemikiran yang disebut terakhir oleh sementara pihak dipandang sebagai mazhab filsafat yang lebih memenuhi syarat untuk disebut sebagai "filsafat Islam"—vis a vis filsafat Islam hingga Ibn Rushd yang amat kental dipengaruhi filsafat Yunani—justru tumbuh dengan subur. Ibn 'Arabi atau pun Suhrawardi sebenarnya ingin mencari 'kebenaran' secara lebih efektif bukan dengan rasionalisme ala filsafat Peripatetik, tetapi intuisi intelektual (zawq).
Tulisan ini mencoba menelusuri mengapa filsafat Isyraqi muncul di tengah "kelesuan" filsafat Islam. Apa fundamental idea filsafat ini, terutama di tangan tokoh utamanya Suhrawardi. Dan akhirnya tulisan ini juga mencari kemungkinan relevansi filsafat ini dengan kehidupan kontemporer.
Pengertian Isyraqi
Setidaknya ada dua kata dalam bahasa Arab yang berakar kata syarq (terbitnya matahari): isyraq dan masyriq. Jika yang pertama bermakna pencahayaan atau iluminatif maka yang kedua berarti timur. Lagi pula sifat iluminatif musyriqiyyah dan masyriqiyyah yang berarti ketimuran, dalam bahasa Arab ditulis dengan cara yang persis sama. Identifikasi simbolik timur dengan cahaya sebagaimana sering digunakan oleh para ahli isyraq menimbulkan satu kesulitan untuk memahami kata itu, apakah ia diartikan ketimuran atau iluminatif. Sejak semula, dalam kitab Manthiq al-Masyriqiyyin—yang sebagian telah banyak yang hilang—Ibn Sina telah menerangkan adanya ke-arifan Timur yang lebih unggul ketimbang filsafat Peripatetik (Massya'i).
Oleh karena kata masyriqiyyun dapat juga dibaca musyriqiyyun, maka kata yang diintrodusir Ibn Sina melahirkan kontroversi. Tak sedikit pemikir Barat yang mengartikan kata itu sebagai Timur (orient) dan bukan iluminatif. Pandangan seperti ini terbangun terutama sekali sesaat setelah artikel A. Nallino, "Filosofia 'Orientali od 'illuminativa' d'Avicenna" terbit pada tahun 1925.
Bagi Nasr, kendati penafsiran ini secara linguistik dapat dibenarkan, tetapi pada hakikatnya penafsiran itu terlalu sempit karena tidak memperhitungkan adanya kekayaan simbolik yang terkandung dalam kata itu, dan juga tidak mempertimbangkan betapa besar pengaruh Ibn Sina terhadap Suhrawardi.
Bagi Suhrawardi, Ibn Sina sesungguhnya telah berupaya menangkap kembali inti ajaran filsafat Timur, tetapi saying ia tidak memiliki sumber yang diperlukan untuk itu. Tetapi jika kita simak lebih teliti bagaimana simbolisme geografis sacral tentang Timur yang bercahaya dan Barat yang gelap dalam trilogi Ibn Sina (Hay bin Yaqzan, Risalat al-Ta'ir, dan Salaman wa Absal) juga digunakan oleh Suhrawardi, dan bagaimana Syekh al-Isyraq itu menerjemahkan karya-karya Ibn Sina ke dalam bahasa Parsi, dan kemiripan bagian-bagian pada kitab Hikmat al-Isyraq dengan komentar Ibn Sina terhadap teologi Aristoteles, tampak jelaslah betapa filsafat Isyraqi tertancap kuat dalam karya-karya Ibn Sina yang cenderung non-Aristotelian di atas mana pengertian Timur dan cahaya memiliki kaitan erat dalam bentuk kearifan ini.
Sementara itu—kata dalam bahasa Inggris illumination—yang biasanya digunakan sebagai padanan kata Isyraq, berarti penerangan, cahaya. Dalam terminologi filsafat, illumination mempunyai pengertian: sumber kontemplasi; perubahan bentuk dari kehidupan emosional untuk mencapai tindakan yang harmoni.
Mazhab Isyraq atau illuminasionisme adalah aliran yang menetapkan bahwa sumber pengetahuan adalah penyinaran. Penyinaran itu semacam hads yang menghubungkan antara diri yang tahu dengan substansi-substansi cahaya. Ini tidak dapat dipisahkan dari kecenderungan sufi. Lebih lanjut, filsafat ini menegaskan adanya hubungan sangat kuat antara pengetahuan dan keutamaan; antara perhatian yang tercurah kepada pengetahuan (al-tajarrud li al-ma'rifah) dan terpisah dari materi (al-tajarrud 'an al-maddah). Dalam hal ini hikmah itu bukan merupakan teori yang diyakini seseorang, melainkan perpindahan ruhani secara praktis dari alam kegelapan—yang di dalamnya pengetahuan dan kebahagiaan merupakan hal yang mustahil—kepada cahaya yang bersifat akali, yang di dalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dicapai bersama-sama.
Menurut Seyyed Hossein Nasr—seperti dikutip C.A. Qadir—kebijaksanaan Isyraqi adalah cara berfikir kuna pra diskursif yang lebih banyak bersifat intuitif ketimbang diskursif, yang mencoba untuk memperoleh cahaya dengan cara zuhd dan penyesuaian diri. Di tangan Suhrawardi, cara berfikir seperti itu menjadi sebuah aliran baru dari kebijaksanaan yang mengintegrasikan filsafat Plato dan Aristoteles dengan ilmu kemalaikatan Zoroaster dan ide-ide Hermetik, dan menempatkan seluruh struktur dalam konteks sufisme. Filsafat ini menggabungkan dua kebijaksanaan, yakni kebijaksanaan eksperiensial (al-Dzawqiyyah) dan kebijaksanaan diskursif (al-Bahtsiyyah). Jika yang pertama memiliki corak spiritualitas sufi, maka yang kedua bercorak pemikiran rasonal filosofis.
Suhrawardi: Biografi, Karya dan Sekitar Hikmat al-Isyraq
Biografi Singkat
Nama lengkap Suhrawardi adalah Syihab al-Din Yahya bin Habasybi bin Amirak Suhrawardi. Ia dilahirkan di Suhrawardi, sebuah desa dekat kota Zinjan di Iran Selatan pada 549 H/1155 M dan meninggal di Aleppo pada 587 H/1197 M. Ia dijuluki al-Maqtul (yang terbunuh) atau al-syahid, sebab ia meninggal karena dibunuh atas suruhan al-Malik al-Zahir (raja Aleppo dan Siria Utama). Keputusan pembunuhan atas dirinya diambil karena ajaran tasawufnya dipandang telah menyeleweng dari rel Islam. Julukan lain yang sering dinisbatkan kepadanya adalah Syaikh al-Isyraq (Guru Illuminasi).
Suhrawardi menjalani masa studinya pada beberapa guru di beberapa tempat. Majd al-Din al-Jili adalah gurunya yang pertama, yang mengajarinya filsafat dan teologi di Maragha. Selain itu, ia diajar pula Fakhr al-Din al-Mardini (w. 594/1198), yang juga mengajar di Isfahan atau Mardin. Orang inilah yang diduga sebagai gurunya yang terpenting. Al-Mardini berada di wilayah Aleppo, sesaat Suhrawardi dieksekusi—peristiwa yang telah ia prediksikan sebelumnya—tetapi sejauh ini tidak diketahui apakah ia punya peran, positif atau negatif, dalam intrik yang membawa ke pengadilan dan selanjutnya pembunuhan atas Suhrawardi. Al-Mardini merupakan orang sezaman dengan Abu al-Barakat al-Bahgdadi (w. 560/1164), seorang pengikut aliran anti Aristoteles yang terkenal. Ia juga murid dari Baghdadi yang lain dan menjadi rivalnya di Baghdad. Karena hal ini dan sekian alasan lain, al-Baghdadi termasuk salah seorang dari sedikit filsuf sezaman yang disebut-sebut Suhrawardi.
Baik Suhrawardi maupun al-Baghdadi—dalam persoalan filsafat yang mendasar—sama-sama memberi peran penting kepada intuisi dalam bangunan filsafat. Menurut Hossein Ziai, struktur karya filosofis al-Baghdadi, Evidential (al-Mu'tabar), juga terefleksi dalam karya-karya filosofis Suhrawardi. Bagi Ziai, ini membuktikan al-Baghdadi semestinya dipandang sebagai satu sumber langsung yang penting bagi banyak pendekatan non-peripatetik Suhrawardi terhadap persoalan filsafat.
Al-Baghdadi, sebagaimana Suhrawardi, mengklaim bahwa magnum opus-nya, al-Mu'tabar, merupakan gubahan tentang dasar refleksi pribadi. Keduanya mengakui bahwa kepastian intuisi punya validitas yang sama dengan kepastian penalaran dan persepsi inderalah yang diterima oleh kaum Peripatetik. Guru Suhrawardi yang lain adalah Zahir al-Farsi (Nasr menyebutnya Zahiruddin al-Qari), dari tokoh ini ia belajar tentang pengamatan (al-Basha'ir). Juga belajar dari seorang ahli logika ternama, 'Umar ibn Sahla al-Sawi (w. 540/1145), salah seorang dari filsuf yang namanya disebut-sebut oleh Suhrawardi, khususnya dalam kaitan dengan permasalahan-permasalahan tertentu logika yang rumit.
Setelah menyelesaikan studinya, Suhrawardi melakukan perjalanannya ke Iran. Di sana ia menemui sejumlah syekh sufi dan sangat tertarik sebagian dari mereka. Pada kenyataannya, ia memasuki lingkaran kehidupannya melalui jalan sufi dan cukup lama berkhalwat dalam mempelajari dan menekuninya. Perjalanannya secara bertahap meluas hingga mencapai Anathole dan Suriah yang pemandangan alamnya memukau. Pernah dalam perjalanannya, ia pergi dari Damaskus ke Aleppo untuk menemui Malik Zahir, putera Salah al-Din al-Ayyubi yang terkenal. Malik yang punya kecintaan khusus kepada para sufi dan sarjana, menjadi tertarik kepada pemikir muda Suhrawardi, lalu mengundangnya untuk tinggal di istana.
Suhrawardi yang sudah sangat menyukai daerah ini, dengan senang hati menerima undangan tersebut dan tinggal di istana. Akan tetapi karena caranya yang oensif dan kekurang hati-hatiannya dalam menyebarkan doktrin-doktrin esoterik dihadapan semua jenis audiens; intelegensinya yang tajam yang memungkinkannya untuk mengalahkan lawan-lawannya dalam berdebat dan kepiawaiannya baik dalam filsafat diskursif maupun sufisme, membuatnya banyak dimusuhi orang, terutama di kalangan para ulama hukum (fuqaha). Belakangan, ulama-ulama tersebut menuntut kepada Malik Zahir, agar menjatuhi hukum mati terhadap Suhrawardi karena terbukti—demikian tuduhan fuqaha tersebut—menyebarkan doktrin-doktrin yang bertentangan dengan agama. Malik awalnya menolak. Maka mereka melanjutkan tuntutannya kepada Salah al-Din al-Ayyubi secara langsung. Pada saat itu Suriah telah terbebas dari tentara Salib, sementara dukungan ulama merupakan satu hal penting bagi kekuatan Sultan Salah al-Din. Karena desakan mereka terus menerus, akibatnya Sultan mengabulkan tuntutan mereka itu. Malik dipaksa untuk melaksanakannya. Lalu kekuasaan eksekutif keagamaan mengakhiri hidup pemikir muda yang cemerlang itu dengan memenjarakannya. Dan ketika ia meninggalkan penjara, ia wafat tanpa sebab yang dapat diterangkan sebagai penyebab langsung kematiannya pada 587/1191. Demikianlah Syaikh al-Isyraq menerima nasibnya pada usia 38 tahun, sebagaimana yang diterima pendahulunya, al-Hallaj, yang cukup menarik baginya ketika masa hidupnya, dan ia sendiri banyak mengutip ucapan-ucapan al-Hallaj dalam buku-bukunya.
Karya Intelektual
Kendatipun usianya relatif pendek dan penuh dengan penderitaan dan pergolakan, Suhrawardi toh meninggalkan sejumlah karya tulis yang tidak sedikit. Dari karya itu, beberapa di antaranya telah hilang, sedikit yang diterbitkan dan sisanya dalam bentuk naskah tersimpan di perpustakaan-perpustakaan di Iran, India dan Turki. Berbeda halnya dengan Ibn Sina dan al-Ghazali, karya tulisnya tidak pernah diterjemahkan orang ke dalam bahasa Latin, karena itu ia tak pernah dikenal di dunia Barat. Tetapi pengaruhnya di dunia Timur hampir-hampir menyamai ketenaran Ibn Sina. Bahkan setiap sejarah filsafat Islami, yang tidak menyebut Isyraq-nya boleh disebut tidak lengkap. Kitab sejarah filsafat Muslim yang ditulis oleh orang Barat, seperti Munk dan de Boer, biasanya berakhir dengan Ibn Rushd karena mereka hanya mempertimbangkan segi-segi filsafat Muslim yang berpengaruh pada skolastik Latin. Padahal sesungguhnya, pada abad ke-7 H/13 M bukanlah merupakan akhir pemikiran spekulatif dalam Islam. Bahkan pada masa itulah muncul sebuah aliran pemikiran yang sangat penting yaitu aliran Isyraqiyyah. Tulisan-tulisan Suhrawardi berpengaruh di Timur pada masa yang sama ketika aliran Peripatetik mengembara ke Barat ke Andalusia untuk kemudian menjalar ke Eropa melalui Ibn Rushd dan kawan-kawan.
Untuk menelaah karya-karya intelektual Suhrawardi, Nasr membaginya ke dalam lima kategori:
1. Empat buah kitab besar tentang doktrinnya. Tiga kitab pertama berkenaan dengan filsafat Aristotelian (Masysya'i) dengan pelbagai modifikasi, sementara yang terakhir menyangkut doktrin Isyraqiyyah murni. Karya-karya ini ditulis dalam bahasa Arab, meliputi Talwihat, Muqawwamat, Mutharahat dan Hikmat al-Isyraqi.
2. Kitab-kitab yang lebih ringkas mengenai doktrin yang sama, seperti Hayakil al-Nur, al-Alwah al-'Imadiyyah, Partau Nameh, I'tiqad al-Hukama', al-Lahamat, Yazdan Sinakht dan Bustan al-Qulub, yang semuanya merupakan uraian lanjut apa yang ditulisnya dalam kitab-kitab yang lebih tebal. Karya-karya tersebut sebagiannya ditulis dalam bahasa Arab dan selebihnya dalam bahasa Parsi.
3. Cerita-cerita inisiasi yang ditulis dalam bahasa simbolik yang mengisahkan perjalanan seorang murid menuju gnosis (ma'rifah) dan illumination (isyraq). Kitab-kitab kecil ini seluruhnya ditulis dalam bahasa Parsi meliputi, 'Aql al-Surkh, Awaz-i Par-i Jibra'il, al-Ghurbat al-Gharbiyyah, (juga dalam bahasa Arab), Lugaht-i Muran, Risalah fi Halat al-Tufuliyyah, Ruzi ba Jama'at-i Sufiyah, Risalah fi al-Mi'raj dan Safir-i Simurgh.
4. Uraian dan terjemahan kitab filsafat dan inisiasi serta kitab suci, seperti kitab Risalat al-Ta'ir karya Ibn Sina yang diterjemahkan ke dalam bahasa Parsi, juga komentar ke dalam bahasa Parsi karya Ibn Sina, Isyarat wa Tanbihat, dan kitab Risalat fi Haqiqat al-'Isyq yang dibuat berdasarkan karya Ibn Sina Risalat al-'Isyq serta uraian mengenai ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits.
5. Berbagai do'a, wirid dan meditasi serta yang disebut dengan kitab-kitab waktu semuannya oleh Syahrazuri disebut sebagai al-Waridat wa al-Taqdisat.
Karya-karya tulis ini serta sejumlah besar komentar dan ulasan yang ditulis tentangnya selama tak kurang dari tujuh abad terakhir ini, merupakan ide fundamental pemikiran Isyraqi dan merupakan khazanah pemikiran serta simbol-simbol yang memadukan pemikiran tradisional dengan Hermetisme serta filsafat Pythagoras, Plato, Aristoteles, Zoroaster, dan pelbagai unsur lainnya. Patut dicatat bahwa Suhrawardi sangat berhutang budi kepada filsuf-filsuf Muslim—terutama Ibn Sina—dalam membangun gagasannya. Selanjutnya, sejauh ia sebagai seorang sufi dan filsuf—atau tepatnya mungkin teosof—ia juga berhutang, baik bagi inspirasi spiritualnya maupun bagi doktrin-doktrinnya, pada rantai agung guru-guru tasawuf yang hidup sebelumnya. Lebih khusus lagi, ia berhutang kepada al-Hallaj yang begitu sering dikutipnya, serta pada al-Ghazali yang karangannya Misykat al-Anwar sedemikian berperan dalam doktrin-doktrinnya mengenai hubungan antara cahaya dan sang Imam.
Suhrawardi juga dipengaruhi oleh ajaran Zoroasterianisme, khususnya tentang doktrin angelologi dan simbolisme cahaya (light) dan kegelapan (darkness). Ia menyamakan kebijakan para empu Zoroastrian kuna dengan ajaran Hermes dan dengan ajaran filsuf-filsuf Yunani sebelum Aristoteles, terutama Pythagoras dan Plato yang gagasannya hendak dihidupkannya kembali. Akhirnya secara langsung, ia dipengaruhi oleh tradisi besar Hermetisme yang merupakan peleburan ajaran kuna di Mesir, Khaldea dan Sabaea, yang melandaskan dirinya pada simbolisme primordial al-Kimi. Suhrawardi menganggap dirinya sebagai pembangkit kembali kearifan abadi (philosophia perennis), atau apa yang disebutnya sebagai Hikmat al-Ladunniyyah atau Hikmat al-'Atiqah yang hidup dalam alam pikiran India, Persia, Babilonia, Mesir dan Yunani kuna hingga masa Plato.
Konsep Suhrawardi dan mazhabnya mengenai sejarah filsafat merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Mazhab pemikiran ini menyamakan filsafat dan kearifan, bukan dengan sistematisasi rasional. Baginya, filsafat tidak bermula dari Plato dan Aristoteles, namun justru berakhir pada mereka. Aristoteles yang meletakkan kearifan dalam baju rasionalis telah menyempitkan cakrawalanya dan telah memisahkannya dari kearifan tentang kesatupaduan yang dimiliki oleh para empu di zaman purbakala. Dalam pandangannya, Hermes tak lain dari Nabi Idris as yang menjadi cikal bakal filsafat setelah menerima wahyu dari Allah SWT. Ia diilhami dari serangkaian ahli bijak dari Yunani, Persia kuna, dan akhirnya pada Islam yang menyatukan kearifan peradaban sebelumnya ke dalam rahim peradabannya. Patut dicatat bahwa rangkaian penyampaian doktrin Isyraqi mesti dipahami secara simbolis dan bukannya histories.
Sekitar Doktrin Hikmat al-Isyraqi
Secara sekilas telah disebutkan sebelumnya bahwa Suhrawardi menegaskan, doktrin Hikmat al-Isyraqi sesungguhnya bukanlah satu bentuk metafisika yang baru—dalam pengertian unik dan satu-satunya—tetapi merupakan serangkaian kearifan agung yang demikian panjang sejak Yunani Kuna, Persia Kuna hingga Islam. Akan tetapi di tangan Suhrawardilah ajaran ini menemukan bentuknya yang paling menonjol. Bagi Suhrawardi, semua bahan yang dituangkan dalam magnum opus-nya Hikmat al-Isyraq, bukan diperoleh dari hasil pemikiran rasional, melainkan hasil ilham dan intuisi intelektual, permenungan dan pengamalan zuhd.
Bagi Suhrawardi, sejak semula sesungguhnya telah ada suatu "olahan abadi" (al-khamirat al-azaliyyah) yang tak lain adalah kebijaksanaan Abadi atau sophia perennis. Ia dikaburkan dalam substansi manusia yang siap "diolah" dan diaktualisasikan melalui latihan intelektual (intellectual training) dan penyucian hati. Ia adalah "olahan abadi" yang diaktualisasikan dan ditransformasikan oleh filsuf Pythagorean dan Plato kepada Sufi Zhu al-Nun Misri dan Sahl al-Tustari dan melalui orang-orang 'arif Persia kepada Yazid al-Bustami dan Mansyur al-Hallaj dan direstorasi dengan keagungan penuh oleh Suhrawardi, yang mengkombinasikan pengetahuan hati (the inner knowledge) dari guru-guru tersebut dengan disiplin intelektual seperti filsuf al-Farabi dan Ibn Sina. Suhrawardi, betapa pun, tidak pernah menguasai piranti sejarah yang berhubungan dengan dirinya pada tradisi panjang tentang kearifan, tetapi menegaskan bahwa makna sesungguhnya pencapaian pengetahuan ini adalah melalui Tuhan dan Kitab wahyuNya. Itu sebab mengapa ia mendasarkan dirinya sendiri begitu banyak kepada Al-Qur'an dan ia adalah filsuf Muslim utama yang pertama mengutip Al-Qur'an secara ekstensif dalam karya-karya filosofisnya.
Suhrawardi mencipta begitu banyak sintetis filsafat, yang dilukiskannya dari sejumlah sumber, khususnya enam abad pemikiran Islam sebelum dirinya, tetapi sintetis ini diunifikasikan dengan sebuah metafisika dan epistemologi yang dapat menghubungkan semua garis perbedaan pemikiran satu sama lainnya dalam satu pola yang terpadu. Apa yang paling berharga dari sudut pandang spiritual adalah bertahannya filsafat Isyraqi pada organisme yang kental pada aktifitas intelektual dan kesucian hati. Untuk selanjutnya, dalam dunia Islam di mana saja filsafat tetap bertahan, ia dilihat sebagai kearifan yang terus hidup. Filsuf atau hakim tidak diharapkan sekadar hanya menjadi orang yang memiliki pengetahuan rasional tetapi menjadi orang suci karena ditransformasikan oleh pengetahuannya. Filsafat sebagai aktifitas mental yang lepas dari realisasi spiritual dan kehidupan batin tidak dapat diterima sebagai legitimasi kategori intelektual, dan filsafat Islam lebih lanjut menjadi sophia yang senantiasa dimiliki oleh Tradisi-tradisi Ketimuran, yaitu sebuah kearifan yang hidup, pengalaman dan juga pemikiran serta penalaran.
Doktrin filsafat Isyraqi bermula dari pandangan Suhrawardi bahwa Allah adalah Cahaya dari semua cahaya (Nur al-Anwar) dan sumber bagi semua yang ada. Pandangannya ini didasarkan pada Al-Qur'an, surat al-Nur/24, "Allah adalah Cahaya Langit dan Bumi." Berangkat dari ayat itu, lahir konsep nur (cahaya) yang membentuk hirarki tertentu. Segala sesuatu dapat dibagi menjadi "cahaya dalam hakikat dirinya" (nur fi haqiqat nafsih) dan "sesuatu yang bukan cahaya dalam hakikat dirinya" (ma laysa bi nur fi haqiqat nafsih), yakni kegelapan atau bukan cahaya. Sementara "cahaya dalam dirinya" disebut sebagai cahaya murni atau cahaya semata (al-nur al-mujarrad) atau al-nur mahd. Meski demikian, patut dicatat bahwa cahaya itu memiliki tingkatan yang berbeda kekuatannya, kejelasan dan ketidak-jelasannya, terang atau pun redupnya.
Cahaya itu sendiri mempunyai dua jenis: ada yang fakir dan membutuhkan seperti cahaya akal dan jiwa manusia; dan ada yang kaya dan absolut, yang tidak membutuhkan sama sekali, karena tidak ada lagi cahaya di atasnya, yaitu al-Haqq yang Maha Suci atau oleh Ibn Sina menyebutnya wajib al-wujud bi zatih. Di sini ia disebut Cahaya segala cahaya (Nur al-Anwar), Cahaya Yang Meliputi (al-Nur al-Muhith), Cahaya Yang Menguasai (al-Nur al-Qayyum), Cahaya Yang Suci (al-Nur al-A'zam), Cahaya Yang Paling Tinggi (al-Nur al-A'la), Cahaya Maha Pemaksa (al-Nur al-Qahhar).
Hirarki cahaya punya kaitan dengan tingkat kesempurnaan wujud. Wujud yang paling dekat dengan "Cahaya dari segala cahaya" adalah wujud yang paling sempurna, sementara yang paling jauh adalah yang paling sedikit cahayanya. Dalam kaitan Cahaya dengan wujud-wujud yang terdapat di bawahnya, cahaya dapat dibagi menjadi "cahaya dalam-dan-bagi dirinya" dan "cahaya dalam-dan-bagi yang lain". Jenis cahaya kedua menyinari hal-hal yang lain dank arena itu merupakan "cahaya bagi yang lain" dan bukan bagi dirinya. Terlepas dari apakah bagi dirinya atau bagi yang lain, cahaya sepenuhnya nyata dank arena itu harus digambarkan sebagai hidup, karena hidup merupakan modus manifestasi diri yang aktual.
Doktrin tingkatan-tingkatan wujud sebagaimana disebutkan di atas merupakan salah satu ajaran pokok filsafat Isyraqi. Ajaran lain yang punya hubungan erat dengan ajaran tingkat-tingkat wujud, adalah teori kognisi, yang menyamakan antara pikiran dan wujud. Dari kedua teori itu muncul ajaran ketiga yang belakangan memainkan peranan cukup penting dalam pandangan-dunianya yang religius, yang dalam perkembangannya mendapat kontribusi dari pemikiran sufi, yakni ajaran "Alam Misal". Doktrin sufi ini menegaskan adanya dunia gambar-gambar ontologis yang di dalamnya realitas spiritual dari "alam atas" mengambil bentuk gambar-gambar kongkret dan jasad-jasad kasar dari alam materi ("alam bawah") menjadi jasad halus dan gambar-gambar. Ajaran ini dikembangkan oleh Ibn 'Arabi (1165-1240) menjadi ide tentang alam semesta sebagai "macro-anthropos" (al-insan al-akbar) atau "macropersona" (al-syakhsh al-akbar). Alam semesta dipolakan pada manusia. Kemampuan-kemampuan kognitif manusia diproyeksikan ke dalam struktur ontologis realitas yang tampak sebagai seseorang. Sebagaimana halnya manusia, alam pun memiliki persepsi inderawi, imajinasi, pemikiran rasional dan intuisi spiritual.
Suhrawardi mengembangkan dua ajaran pertama yakni tentang tingkatan-tingkatan wujud dan teori kognisi yang menekankan persamaan pikiran dengan wujud. Ia menolak pembedaan antara esensi dan eksistensi dan menyingkirkan dasar perbedaan yang dibuat para filsuf untuk membedakan Tuhan dengan manusia. Sejalan dengan ini, ia menolak pembedaan antara kemungkinan dan keniscayaan. Menurutnya, pembedaan ini semata-mata bersifat mental dan subyektif. Lebih lanjut ia menyerang ide dualitas antara form dan matter, dan merumuskan suatu doktrin tentang eksistensi murni yang hanya mentolerir pembedaan satu-satunya dalam eksistensi itu sendiri, yaitu "lebih atau kurang" atau "lebih sempurna atau kurang sempurna". Dengan demikian, Suhrawardi mengakui bahwa realitas itu adalah rangkaian kesatuan yang tunggal lagi homogen (one, homogeneous continuum) yang hanya diputus-putus oleh "lebih atau kurang" atau "tingkat-tingkat wujud". Keseluruhan Tuhan adalah wujud dan keseluruhan wujud adalah Tuhan. Dalam konteks ini tampak jelas paham panteistik Suhrawardi.
Di samping gambaran realitas monistik seperti itu, Suhrawardi juga mengembangkan suatu teori pengetahuan. Kognisi, menurutnya, tidaklah terjadi melalui "abstraksi" tetapi melalui kesadaran langsung atau kehadiran yang langsung dari obyek. Itu pula sebabnya mengapa pengetahuannya disebut pengetahuan kehadiran (al-'Ilm al-Huduri).
Akan halnya dengan kaitan antara Nur al-Anwar dengan wujud-wujud lain, Suhrawardi menjelaskan bahwa dari cahaya-Nya memancar sejumlah cahaya lain yang menjadi sendi-sendi alam materi dan alam ruhani. Tidaklah akal terpisah melainkan menyatu dengan cahaya-cahaya ini, yang menggerakkan planet-planet dan mengatur peredarannya. Karena itu tak sedikit filsuf melihat jika filsafat Isyraq didasarkan atas teori al-Farabi tentang Akal Sepuluh.
Meski demikian, tampaknya filsafat Isyraq tidak sekadar ingin sampai ke Akal Sepuluh sebagaimana pandangan al-Farabi, tetapi juga ingin menyatu dengan Jiwa Yang Suci. Yang terakhir ini adalah konsep sufi. Dengan begitu, filsafat Isyraq tidak puas hanya bertemu dengan Akal Kesepuluh semata, melainkan berharap untuk bisa menyatu secara langsung dengan Cahaya segala cahaya. Dengan kata lain, filsafat ini menyatukan pandangan al-ittihad (sufi) dengan al-ittisal (filsuf).
Pada hakikatnya, inti seluruh filsafat Isyraq adalah sifat dan penyebaran cahaya. Cahaya ditegaskan sebagai bersifat materi dan tidak membutuhkan definisi. Karena kalau "terang" diartikan sebagai sesuatu yang tidak membutuhkan definisi, maka demikian juga cahaya. Sebagai realitas yang meliputi segala sesuatu, cahaya menembus setiap entitas, baik yang fisik maupun non-fisik.
Fakhry juga menegaskan bahwa dilihat dari hubungannya dengan benda-benda lainnya, cahaya dapat dibagi menjadi cahaya bagi-dan-dalam dirinya dan cahaya dalam-dan-bagi yang lain. Yang terakhir menyinari hal-hal yang lain, karena itu merupakan cahaya bagi yang lain. Cahaya-cahaya itu membentuk sebuah hirarki. Di puncaknya terdapat Cahaya segala cahaya, kepada-Nyalah bergantung seluruh rentetan cahaya yang berada di bawahnya. Sebagai asal dan sumber niscaya dan harus bersifat Esa. Sebagai Yang Esa, Cahaya ini memunculkan cahaya yang lain melalui proses emanasi.
Sementara itu, Suhrawardi juga menyodorkan filsafat mantiq Isyraqi melalui zawq. Metodenya berbeda dengan kaum Peripatetik yang membangun mantiq atas dasar pembahasan semata. Metodenya juga berbeda dengan metode sufi yang tidak menerima bentuk pemikiran nazari. Suhrawardi membicarakan mantiq dengan dasar perasaan hati atau zawq dan berusaha memperoleh bukti dengan akal (nazari). Menurut Suhrawardi, akal tanpa intuisi dan illuminasi akan mandul dan setengah buta serta tidak bisa mencari sumber transenden dari pemikiran dan penalaran. Sementara intuisi tanpa persiapan logika dan latihan serta pengembangan kemampuan bernalar (rasional) akan tersesat. Lebih jauh lagi, intuisi tanpa itu semua tidak dapat mengungkapkan dirinya secara jelas dan metodis.
Penutup
Satu hal yang patut dicatat bahwa filsafat Isyraqi bukanlah suatu filsafat yang sistematik, oleh karena itu penguraiannya dalam bentuk sistematik sulit dilakukan. Itu pula sebabnya tak sedikit kalangan memandang jika filsafat Isyraqi terkesan rancu dan inkonsisten. Pada saat tertentu ia ingin mempertahankan komitmen akidah keagamaannya, tapi di saat yang lain ia ingin mengikuti tuntutan intelektual yang logis dan rasional.
Terlepas dari hal tersebut, yang jelas kehadiran filsafat ini tak lain dari reaksi sangat keras terhadap bentuk filsafat Islam masa itu yang dipandang telah mati bersamaan dengan wafatnya Ibn Rushd. Bentuk filsafat Peripatetik memiliki paradigma dominant dalam filsafat Islam, dan oleh sementara pihak melihat itulah bentuk finalitas filsafat Islam. Karena itu Suhrawardi tampil mengenalkan filsafat Isyraqi sebagai bentuk filsafat sejati.
Salah satu perbedaan pokok antara filsafat Isyraqi dengan filsafat Aristoteles ialah mengenai prioritas eksistensi (wujud) terhadap esensi (mahiyyah). Para filsuf Peripatetik—sebagaimana halnya kaum sufi—menganggap wujud sebagai yang utama, sementara esensi bersifat kebetulan. Suhrawardi keberatan terhadap pandangan ini dan ia berpendapat bahwa eksistensi tidak mempunyai realitas eksternal di luar akal yang mengabstrakkannya dari obyek-obyek. Sebaliknya, filsafat Peripatetik justru memandang bahwa eksistensi mempunyai realitas eksternal dan akal mengabstraksikan batasan sesuatu itu untuk kemudian menjadi esensinya. Di sini tampak jelas pikiran Suhrawardi sangat Platonis.
Sejalan dengan kian melemahnya filsafat Aristoteles pada akhir abad ke-6 H/12 M., maka unsur yang mengganti sekaligus mendominasi kehidupan pemikiran Muslim adalah kombinasi antara pemikiran sufisme Ibn 'Arabi dan Isyraqi Suhrawardi. Dua tokoh ini, yang hidup pada satu zaman yang sama, seorang meninggal di Damaskus dan yang satu di Aleppo, dan dari provinsi ini pula ajarannya menyebar ke dunia Muslim Barat, khususnya Persia.
Selama hampir tujuh abad terakhir tradisi Isyraqiyyah terus berlanjut dan berpengaruh kuat di Persia. Di sini pemikiran tersebut memainkan peranan penting dalam kehidupan Syi'ah selama pemerintahan Shafawi. Sementara di lingkungan Muslim Sunni, nyaris terabaikan. Padahal tak sedikit yang lahir belakangan justru menjadi pengulas terpenting karya-karya Suhrawardi. Sebut saja di antaranya, Syams al-Din Syahrazuni, Wudud Tabrizi dan Shadr al-Din al-Syirazi atau yang lebih terkenal dengan nama Mulla Shadra. Dari ulasan-ulasan tersebut, di samping menelaah langsung pemikiran Isyraqi Suhrawardi, tampaklah bahwa kebijakan Isyraqiyyah merupakan salah satu ajaran universal pemikiran Timur terpenting di abad-abad silam, karena ia merupakan salah satu pandangan filsafat perennial (perennial philosophy), maka seutuhnya diterima oleh hati yang berudara segar dan sifatnya kekal. Karena itu diharapkan dari kebijakan ini melahirkan satu aktualitas 'irfani yang nampaknya penting untuk zaman sekarang, sebagaimana ia telah mengambil peran penting di masa silam.
Pada abad teknologi dan industrial ini—dengan berbagai implikasi yang ditimbulkannya—mengakibatkan tak sedikit orang yang kehilangan makna dan orientasi hidupnya (meaning and purpose of life). Ini disebabkan antara lain karena kedangkalan visi spiritualitas masyarakat modern. Itu sebab, tawaran Suhrawardi dengan konsep filsafat Isyraqi—sudah barang tentu mudah dipahami oleh masyarakat modern—sedikit banyak perlu dipertimbangkan. Ia, sepanjang dipahami secara integral, akan dapat memberikan solusi terhadap tantangan yang ada.
Dengan kata lain, filsafat Islam sedapat mungkin diwujudkan dalam bahasa yang lebih mudah dicerna, agar gagasan vital yang dikandungnya dapat menjadi jembatan bagi kebudayaan baru. Dari situ, filsafat Islam dapat memberi "warna baru" kepada dunia dank arena itu, filsafat bukan lagi merupakan tujuan, tetapi sekadar sarana komunikasi dan alat agar manusia dapat memainkan perannya secara optimal dalam kancah kehidupan modern yang sangat dahsyat.
Satu kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa di dalam tradisi filsafat Islam pengaruh filsafat Yunani cukup kuat. Tetapi hal ini tidak dengan sendirinya berarti jika semua pandangan filsuf Muslim selalu dicoraki filsafat Yunani. Ini dapat terlihat, pada awal kemunculan filsafat Islam, "aroma" teologi justru sangat menonjol. Al-Kindi umpamanya—sebagai filsuf Muslim pertama—lebih tampak sebagai filsuf yang punya kecenderungan teologis. Setidaknya, ia berdiri di tapal batas antara filsafat dan teologi. Perhatian al-Kindi terhadap teologi dimungkinkan sebagai upaya membendung arus pemikiran filosofis yang abstrak terhadap kepercayaan agama atau penundukan iman terhadap akal. Kasus seperti ini jelas sangat sulit dihindari oleh filsafat Islam. Karena itu, tidak mengherankan jika corak "teologis" tampak sangat kental di masa perkembangannya yang paling dini.
Sementara itu kehidupan intelektual Islam dan Kristen—dua peradaban bersaudara—pada abad pertengahan dapat dibandingkan satu sama lainnya dengan mengukur seberapa besar pengaruh filsafat Aristoteles di dalamnya. Filsafat Peripatetik bergulir ke dunia Barat melalui karya terjemahan bahasa Arab sekitar abad ke-7 H atau ke-13 M. Akibatnya, filsafat ini sangat dominan dan pada urutannya menggeser pemikiran Agustinian dan Platonis yang merajai pemikiran Barat terdahulu. Dari filsafat ini pula kelak melahirkan rasionalisme humanistic renaisans yang menjadi tonggak peradaban Barat. Dalam peradaban Islam, pada saat yang bersamaan, aspek rasionalitas filsafat tersebut justru mendapatkan badai kritik dari dua pihak: kaum sufi dan ulama kalam. Filsafat Aristotelianisme kemudian digantikan oleh ajaran sufi Muhyi al-Din ibn 'Arabi dan oleh Hikmat al-Isyraqiyyah atau kearifan iluminatif dari Syekh al-Isyraq Syihab al-Din Yahya ibn Habash ibn Amirak Suhrawardi yang juga tak kalah "rasional"-nya. Bahkan pemikiran yang disebut terakhir oleh sementara pihak dipandang sebagai mazhab filsafat yang lebih memenuhi syarat untuk disebut sebagai "filsafat Islam"—vis a vis filsafat Islam hingga Ibn Rushd yang amat kental dipengaruhi filsafat Yunani—justru tumbuh dengan subur. Ibn 'Arabi atau pun Suhrawardi sebenarnya ingin mencari 'kebenaran' secara lebih efektif bukan dengan rasionalisme ala filsafat Peripatetik, tetapi intuisi intelektual (zawq).
Tulisan ini mencoba menelusuri mengapa filsafat Isyraqi muncul di tengah "kelesuan" filsafat Islam. Apa fundamental idea filsafat ini, terutama di tangan tokoh utamanya Suhrawardi. Dan akhirnya tulisan ini juga mencari kemungkinan relevansi filsafat ini dengan kehidupan kontemporer.
Pengertian Isyraqi
Setidaknya ada dua kata dalam bahasa Arab yang berakar kata syarq (terbitnya matahari): isyraq dan masyriq. Jika yang pertama bermakna pencahayaan atau iluminatif maka yang kedua berarti timur. Lagi pula sifat iluminatif musyriqiyyah dan masyriqiyyah yang berarti ketimuran, dalam bahasa Arab ditulis dengan cara yang persis sama. Identifikasi simbolik timur dengan cahaya sebagaimana sering digunakan oleh para ahli isyraq menimbulkan satu kesulitan untuk memahami kata itu, apakah ia diartikan ketimuran atau iluminatif. Sejak semula, dalam kitab Manthiq al-Masyriqiyyin—yang sebagian telah banyak yang hilang—Ibn Sina telah menerangkan adanya ke-arifan Timur yang lebih unggul ketimbang filsafat Peripatetik (Massya'i).
Oleh karena kata masyriqiyyun dapat juga dibaca musyriqiyyun, maka kata yang diintrodusir Ibn Sina melahirkan kontroversi. Tak sedikit pemikir Barat yang mengartikan kata itu sebagai Timur (orient) dan bukan iluminatif. Pandangan seperti ini terbangun terutama sekali sesaat setelah artikel A. Nallino, "Filosofia 'Orientali od 'illuminativa' d'Avicenna" terbit pada tahun 1925.
Bagi Nasr, kendati penafsiran ini secara linguistik dapat dibenarkan, tetapi pada hakikatnya penafsiran itu terlalu sempit karena tidak memperhitungkan adanya kekayaan simbolik yang terkandung dalam kata itu, dan juga tidak mempertimbangkan betapa besar pengaruh Ibn Sina terhadap Suhrawardi.
Bagi Suhrawardi, Ibn Sina sesungguhnya telah berupaya menangkap kembali inti ajaran filsafat Timur, tetapi saying ia tidak memiliki sumber yang diperlukan untuk itu. Tetapi jika kita simak lebih teliti bagaimana simbolisme geografis sacral tentang Timur yang bercahaya dan Barat yang gelap dalam trilogi Ibn Sina (Hay bin Yaqzan, Risalat al-Ta'ir, dan Salaman wa Absal) juga digunakan oleh Suhrawardi, dan bagaimana Syekh al-Isyraq itu menerjemahkan karya-karya Ibn Sina ke dalam bahasa Parsi, dan kemiripan bagian-bagian pada kitab Hikmat al-Isyraq dengan komentar Ibn Sina terhadap teologi Aristoteles, tampak jelaslah betapa filsafat Isyraqi tertancap kuat dalam karya-karya Ibn Sina yang cenderung non-Aristotelian di atas mana pengertian Timur dan cahaya memiliki kaitan erat dalam bentuk kearifan ini.
Sementara itu—kata dalam bahasa Inggris illumination—yang biasanya digunakan sebagai padanan kata Isyraq, berarti penerangan, cahaya. Dalam terminologi filsafat, illumination mempunyai pengertian: sumber kontemplasi; perubahan bentuk dari kehidupan emosional untuk mencapai tindakan yang harmoni.
Mazhab Isyraq atau illuminasionisme adalah aliran yang menetapkan bahwa sumber pengetahuan adalah penyinaran. Penyinaran itu semacam hads yang menghubungkan antara diri yang tahu dengan substansi-substansi cahaya. Ini tidak dapat dipisahkan dari kecenderungan sufi. Lebih lanjut, filsafat ini menegaskan adanya hubungan sangat kuat antara pengetahuan dan keutamaan; antara perhatian yang tercurah kepada pengetahuan (al-tajarrud li al-ma'rifah) dan terpisah dari materi (al-tajarrud 'an al-maddah). Dalam hal ini hikmah itu bukan merupakan teori yang diyakini seseorang, melainkan perpindahan ruhani secara praktis dari alam kegelapan—yang di dalamnya pengetahuan dan kebahagiaan merupakan hal yang mustahil—kepada cahaya yang bersifat akali, yang di dalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dicapai bersama-sama.
Menurut Seyyed Hossein Nasr—seperti dikutip C.A. Qadir—kebijaksanaan Isyraqi adalah cara berfikir kuna pra diskursif yang lebih banyak bersifat intuitif ketimbang diskursif, yang mencoba untuk memperoleh cahaya dengan cara zuhd dan penyesuaian diri. Di tangan Suhrawardi, cara berfikir seperti itu menjadi sebuah aliran baru dari kebijaksanaan yang mengintegrasikan filsafat Plato dan Aristoteles dengan ilmu kemalaikatan Zoroaster dan ide-ide Hermetik, dan menempatkan seluruh struktur dalam konteks sufisme. Filsafat ini menggabungkan dua kebijaksanaan, yakni kebijaksanaan eksperiensial (al-Dzawqiyyah) dan kebijaksanaan diskursif (al-Bahtsiyyah). Jika yang pertama memiliki corak spiritualitas sufi, maka yang kedua bercorak pemikiran rasonal filosofis.
Suhrawardi: Biografi, Karya dan Sekitar Hikmat al-Isyraq
Biografi Singkat
Nama lengkap Suhrawardi adalah Syihab al-Din Yahya bin Habasybi bin Amirak Suhrawardi. Ia dilahirkan di Suhrawardi, sebuah desa dekat kota Zinjan di Iran Selatan pada 549 H/1155 M dan meninggal di Aleppo pada 587 H/1197 M. Ia dijuluki al-Maqtul (yang terbunuh) atau al-syahid, sebab ia meninggal karena dibunuh atas suruhan al-Malik al-Zahir (raja Aleppo dan Siria Utama). Keputusan pembunuhan atas dirinya diambil karena ajaran tasawufnya dipandang telah menyeleweng dari rel Islam. Julukan lain yang sering dinisbatkan kepadanya adalah Syaikh al-Isyraq (Guru Illuminasi).
Suhrawardi menjalani masa studinya pada beberapa guru di beberapa tempat. Majd al-Din al-Jili adalah gurunya yang pertama, yang mengajarinya filsafat dan teologi di Maragha. Selain itu, ia diajar pula Fakhr al-Din al-Mardini (w. 594/1198), yang juga mengajar di Isfahan atau Mardin. Orang inilah yang diduga sebagai gurunya yang terpenting. Al-Mardini berada di wilayah Aleppo, sesaat Suhrawardi dieksekusi—peristiwa yang telah ia prediksikan sebelumnya—tetapi sejauh ini tidak diketahui apakah ia punya peran, positif atau negatif, dalam intrik yang membawa ke pengadilan dan selanjutnya pembunuhan atas Suhrawardi. Al-Mardini merupakan orang sezaman dengan Abu al-Barakat al-Bahgdadi (w. 560/1164), seorang pengikut aliran anti Aristoteles yang terkenal. Ia juga murid dari Baghdadi yang lain dan menjadi rivalnya di Baghdad. Karena hal ini dan sekian alasan lain, al-Baghdadi termasuk salah seorang dari sedikit filsuf sezaman yang disebut-sebut Suhrawardi.
Baik Suhrawardi maupun al-Baghdadi—dalam persoalan filsafat yang mendasar—sama-sama memberi peran penting kepada intuisi dalam bangunan filsafat. Menurut Hossein Ziai, struktur karya filosofis al-Baghdadi, Evidential (al-Mu'tabar), juga terefleksi dalam karya-karya filosofis Suhrawardi. Bagi Ziai, ini membuktikan al-Baghdadi semestinya dipandang sebagai satu sumber langsung yang penting bagi banyak pendekatan non-peripatetik Suhrawardi terhadap persoalan filsafat.
Al-Baghdadi, sebagaimana Suhrawardi, mengklaim bahwa magnum opus-nya, al-Mu'tabar, merupakan gubahan tentang dasar refleksi pribadi. Keduanya mengakui bahwa kepastian intuisi punya validitas yang sama dengan kepastian penalaran dan persepsi inderalah yang diterima oleh kaum Peripatetik. Guru Suhrawardi yang lain adalah Zahir al-Farsi (Nasr menyebutnya Zahiruddin al-Qari), dari tokoh ini ia belajar tentang pengamatan (al-Basha'ir). Juga belajar dari seorang ahli logika ternama, 'Umar ibn Sahla al-Sawi (w. 540/1145), salah seorang dari filsuf yang namanya disebut-sebut oleh Suhrawardi, khususnya dalam kaitan dengan permasalahan-permasalahan tertentu logika yang rumit.
Setelah menyelesaikan studinya, Suhrawardi melakukan perjalanannya ke Iran. Di sana ia menemui sejumlah syekh sufi dan sangat tertarik sebagian dari mereka. Pada kenyataannya, ia memasuki lingkaran kehidupannya melalui jalan sufi dan cukup lama berkhalwat dalam mempelajari dan menekuninya. Perjalanannya secara bertahap meluas hingga mencapai Anathole dan Suriah yang pemandangan alamnya memukau. Pernah dalam perjalanannya, ia pergi dari Damaskus ke Aleppo untuk menemui Malik Zahir, putera Salah al-Din al-Ayyubi yang terkenal. Malik yang punya kecintaan khusus kepada para sufi dan sarjana, menjadi tertarik kepada pemikir muda Suhrawardi, lalu mengundangnya untuk tinggal di istana.
Suhrawardi yang sudah sangat menyukai daerah ini, dengan senang hati menerima undangan tersebut dan tinggal di istana. Akan tetapi karena caranya yang oensif dan kekurang hati-hatiannya dalam menyebarkan doktrin-doktrin esoterik dihadapan semua jenis audiens; intelegensinya yang tajam yang memungkinkannya untuk mengalahkan lawan-lawannya dalam berdebat dan kepiawaiannya baik dalam filsafat diskursif maupun sufisme, membuatnya banyak dimusuhi orang, terutama di kalangan para ulama hukum (fuqaha). Belakangan, ulama-ulama tersebut menuntut kepada Malik Zahir, agar menjatuhi hukum mati terhadap Suhrawardi karena terbukti—demikian tuduhan fuqaha tersebut—menyebarkan doktrin-doktrin yang bertentangan dengan agama. Malik awalnya menolak. Maka mereka melanjutkan tuntutannya kepada Salah al-Din al-Ayyubi secara langsung. Pada saat itu Suriah telah terbebas dari tentara Salib, sementara dukungan ulama merupakan satu hal penting bagi kekuatan Sultan Salah al-Din. Karena desakan mereka terus menerus, akibatnya Sultan mengabulkan tuntutan mereka itu. Malik dipaksa untuk melaksanakannya. Lalu kekuasaan eksekutif keagamaan mengakhiri hidup pemikir muda yang cemerlang itu dengan memenjarakannya. Dan ketika ia meninggalkan penjara, ia wafat tanpa sebab yang dapat diterangkan sebagai penyebab langsung kematiannya pada 587/1191. Demikianlah Syaikh al-Isyraq menerima nasibnya pada usia 38 tahun, sebagaimana yang diterima pendahulunya, al-Hallaj, yang cukup menarik baginya ketika masa hidupnya, dan ia sendiri banyak mengutip ucapan-ucapan al-Hallaj dalam buku-bukunya.
Karya Intelektual
Kendatipun usianya relatif pendek dan penuh dengan penderitaan dan pergolakan, Suhrawardi toh meninggalkan sejumlah karya tulis yang tidak sedikit. Dari karya itu, beberapa di antaranya telah hilang, sedikit yang diterbitkan dan sisanya dalam bentuk naskah tersimpan di perpustakaan-perpustakaan di Iran, India dan Turki. Berbeda halnya dengan Ibn Sina dan al-Ghazali, karya tulisnya tidak pernah diterjemahkan orang ke dalam bahasa Latin, karena itu ia tak pernah dikenal di dunia Barat. Tetapi pengaruhnya di dunia Timur hampir-hampir menyamai ketenaran Ibn Sina. Bahkan setiap sejarah filsafat Islami, yang tidak menyebut Isyraq-nya boleh disebut tidak lengkap. Kitab sejarah filsafat Muslim yang ditulis oleh orang Barat, seperti Munk dan de Boer, biasanya berakhir dengan Ibn Rushd karena mereka hanya mempertimbangkan segi-segi filsafat Muslim yang berpengaruh pada skolastik Latin. Padahal sesungguhnya, pada abad ke-7 H/13 M bukanlah merupakan akhir pemikiran spekulatif dalam Islam. Bahkan pada masa itulah muncul sebuah aliran pemikiran yang sangat penting yaitu aliran Isyraqiyyah. Tulisan-tulisan Suhrawardi berpengaruh di Timur pada masa yang sama ketika aliran Peripatetik mengembara ke Barat ke Andalusia untuk kemudian menjalar ke Eropa melalui Ibn Rushd dan kawan-kawan.
Untuk menelaah karya-karya intelektual Suhrawardi, Nasr membaginya ke dalam lima kategori:
1. Empat buah kitab besar tentang doktrinnya. Tiga kitab pertama berkenaan dengan filsafat Aristotelian (Masysya'i) dengan pelbagai modifikasi, sementara yang terakhir menyangkut doktrin Isyraqiyyah murni. Karya-karya ini ditulis dalam bahasa Arab, meliputi Talwihat, Muqawwamat, Mutharahat dan Hikmat al-Isyraqi.
2. Kitab-kitab yang lebih ringkas mengenai doktrin yang sama, seperti Hayakil al-Nur, al-Alwah al-'Imadiyyah, Partau Nameh, I'tiqad al-Hukama', al-Lahamat, Yazdan Sinakht dan Bustan al-Qulub, yang semuanya merupakan uraian lanjut apa yang ditulisnya dalam kitab-kitab yang lebih tebal. Karya-karya tersebut sebagiannya ditulis dalam bahasa Arab dan selebihnya dalam bahasa Parsi.
3. Cerita-cerita inisiasi yang ditulis dalam bahasa simbolik yang mengisahkan perjalanan seorang murid menuju gnosis (ma'rifah) dan illumination (isyraq). Kitab-kitab kecil ini seluruhnya ditulis dalam bahasa Parsi meliputi, 'Aql al-Surkh, Awaz-i Par-i Jibra'il, al-Ghurbat al-Gharbiyyah, (juga dalam bahasa Arab), Lugaht-i Muran, Risalah fi Halat al-Tufuliyyah, Ruzi ba Jama'at-i Sufiyah, Risalah fi al-Mi'raj dan Safir-i Simurgh.
4. Uraian dan terjemahan kitab filsafat dan inisiasi serta kitab suci, seperti kitab Risalat al-Ta'ir karya Ibn Sina yang diterjemahkan ke dalam bahasa Parsi, juga komentar ke dalam bahasa Parsi karya Ibn Sina, Isyarat wa Tanbihat, dan kitab Risalat fi Haqiqat al-'Isyq yang dibuat berdasarkan karya Ibn Sina Risalat al-'Isyq serta uraian mengenai ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits.
5. Berbagai do'a, wirid dan meditasi serta yang disebut dengan kitab-kitab waktu semuannya oleh Syahrazuri disebut sebagai al-Waridat wa al-Taqdisat.
Karya-karya tulis ini serta sejumlah besar komentar dan ulasan yang ditulis tentangnya selama tak kurang dari tujuh abad terakhir ini, merupakan ide fundamental pemikiran Isyraqi dan merupakan khazanah pemikiran serta simbol-simbol yang memadukan pemikiran tradisional dengan Hermetisme serta filsafat Pythagoras, Plato, Aristoteles, Zoroaster, dan pelbagai unsur lainnya. Patut dicatat bahwa Suhrawardi sangat berhutang budi kepada filsuf-filsuf Muslim—terutama Ibn Sina—dalam membangun gagasannya. Selanjutnya, sejauh ia sebagai seorang sufi dan filsuf—atau tepatnya mungkin teosof—ia juga berhutang, baik bagi inspirasi spiritualnya maupun bagi doktrin-doktrinnya, pada rantai agung guru-guru tasawuf yang hidup sebelumnya. Lebih khusus lagi, ia berhutang kepada al-Hallaj yang begitu sering dikutipnya, serta pada al-Ghazali yang karangannya Misykat al-Anwar sedemikian berperan dalam doktrin-doktrinnya mengenai hubungan antara cahaya dan sang Imam.
Suhrawardi juga dipengaruhi oleh ajaran Zoroasterianisme, khususnya tentang doktrin angelologi dan simbolisme cahaya (light) dan kegelapan (darkness). Ia menyamakan kebijakan para empu Zoroastrian kuna dengan ajaran Hermes dan dengan ajaran filsuf-filsuf Yunani sebelum Aristoteles, terutama Pythagoras dan Plato yang gagasannya hendak dihidupkannya kembali. Akhirnya secara langsung, ia dipengaruhi oleh tradisi besar Hermetisme yang merupakan peleburan ajaran kuna di Mesir, Khaldea dan Sabaea, yang melandaskan dirinya pada simbolisme primordial al-Kimi. Suhrawardi menganggap dirinya sebagai pembangkit kembali kearifan abadi (philosophia perennis), atau apa yang disebutnya sebagai Hikmat al-Ladunniyyah atau Hikmat al-'Atiqah yang hidup dalam alam pikiran India, Persia, Babilonia, Mesir dan Yunani kuna hingga masa Plato.
Konsep Suhrawardi dan mazhabnya mengenai sejarah filsafat merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Mazhab pemikiran ini menyamakan filsafat dan kearifan, bukan dengan sistematisasi rasional. Baginya, filsafat tidak bermula dari Plato dan Aristoteles, namun justru berakhir pada mereka. Aristoteles yang meletakkan kearifan dalam baju rasionalis telah menyempitkan cakrawalanya dan telah memisahkannya dari kearifan tentang kesatupaduan yang dimiliki oleh para empu di zaman purbakala. Dalam pandangannya, Hermes tak lain dari Nabi Idris as yang menjadi cikal bakal filsafat setelah menerima wahyu dari Allah SWT. Ia diilhami dari serangkaian ahli bijak dari Yunani, Persia kuna, dan akhirnya pada Islam yang menyatukan kearifan peradaban sebelumnya ke dalam rahim peradabannya. Patut dicatat bahwa rangkaian penyampaian doktrin Isyraqi mesti dipahami secara simbolis dan bukannya histories.
Sekitar Doktrin Hikmat al-Isyraqi
Secara sekilas telah disebutkan sebelumnya bahwa Suhrawardi menegaskan, doktrin Hikmat al-Isyraqi sesungguhnya bukanlah satu bentuk metafisika yang baru—dalam pengertian unik dan satu-satunya—tetapi merupakan serangkaian kearifan agung yang demikian panjang sejak Yunani Kuna, Persia Kuna hingga Islam. Akan tetapi di tangan Suhrawardilah ajaran ini menemukan bentuknya yang paling menonjol. Bagi Suhrawardi, semua bahan yang dituangkan dalam magnum opus-nya Hikmat al-Isyraq, bukan diperoleh dari hasil pemikiran rasional, melainkan hasil ilham dan intuisi intelektual, permenungan dan pengamalan zuhd.
Bagi Suhrawardi, sejak semula sesungguhnya telah ada suatu "olahan abadi" (al-khamirat al-azaliyyah) yang tak lain adalah kebijaksanaan Abadi atau sophia perennis. Ia dikaburkan dalam substansi manusia yang siap "diolah" dan diaktualisasikan melalui latihan intelektual (intellectual training) dan penyucian hati. Ia adalah "olahan abadi" yang diaktualisasikan dan ditransformasikan oleh filsuf Pythagorean dan Plato kepada Sufi Zhu al-Nun Misri dan Sahl al-Tustari dan melalui orang-orang 'arif Persia kepada Yazid al-Bustami dan Mansyur al-Hallaj dan direstorasi dengan keagungan penuh oleh Suhrawardi, yang mengkombinasikan pengetahuan hati (the inner knowledge) dari guru-guru tersebut dengan disiplin intelektual seperti filsuf al-Farabi dan Ibn Sina. Suhrawardi, betapa pun, tidak pernah menguasai piranti sejarah yang berhubungan dengan dirinya pada tradisi panjang tentang kearifan, tetapi menegaskan bahwa makna sesungguhnya pencapaian pengetahuan ini adalah melalui Tuhan dan Kitab wahyuNya. Itu sebab mengapa ia mendasarkan dirinya sendiri begitu banyak kepada Al-Qur'an dan ia adalah filsuf Muslim utama yang pertama mengutip Al-Qur'an secara ekstensif dalam karya-karya filosofisnya.
Suhrawardi mencipta begitu banyak sintetis filsafat, yang dilukiskannya dari sejumlah sumber, khususnya enam abad pemikiran Islam sebelum dirinya, tetapi sintetis ini diunifikasikan dengan sebuah metafisika dan epistemologi yang dapat menghubungkan semua garis perbedaan pemikiran satu sama lainnya dalam satu pola yang terpadu. Apa yang paling berharga dari sudut pandang spiritual adalah bertahannya filsafat Isyraqi pada organisme yang kental pada aktifitas intelektual dan kesucian hati. Untuk selanjutnya, dalam dunia Islam di mana saja filsafat tetap bertahan, ia dilihat sebagai kearifan yang terus hidup. Filsuf atau hakim tidak diharapkan sekadar hanya menjadi orang yang memiliki pengetahuan rasional tetapi menjadi orang suci karena ditransformasikan oleh pengetahuannya. Filsafat sebagai aktifitas mental yang lepas dari realisasi spiritual dan kehidupan batin tidak dapat diterima sebagai legitimasi kategori intelektual, dan filsafat Islam lebih lanjut menjadi sophia yang senantiasa dimiliki oleh Tradisi-tradisi Ketimuran, yaitu sebuah kearifan yang hidup, pengalaman dan juga pemikiran serta penalaran.
Doktrin filsafat Isyraqi bermula dari pandangan Suhrawardi bahwa Allah adalah Cahaya dari semua cahaya (Nur al-Anwar) dan sumber bagi semua yang ada. Pandangannya ini didasarkan pada Al-Qur'an, surat al-Nur/24, "Allah adalah Cahaya Langit dan Bumi." Berangkat dari ayat itu, lahir konsep nur (cahaya) yang membentuk hirarki tertentu. Segala sesuatu dapat dibagi menjadi "cahaya dalam hakikat dirinya" (nur fi haqiqat nafsih) dan "sesuatu yang bukan cahaya dalam hakikat dirinya" (ma laysa bi nur fi haqiqat nafsih), yakni kegelapan atau bukan cahaya. Sementara "cahaya dalam dirinya" disebut sebagai cahaya murni atau cahaya semata (al-nur al-mujarrad) atau al-nur mahd. Meski demikian, patut dicatat bahwa cahaya itu memiliki tingkatan yang berbeda kekuatannya, kejelasan dan ketidak-jelasannya, terang atau pun redupnya.
Cahaya itu sendiri mempunyai dua jenis: ada yang fakir dan membutuhkan seperti cahaya akal dan jiwa manusia; dan ada yang kaya dan absolut, yang tidak membutuhkan sama sekali, karena tidak ada lagi cahaya di atasnya, yaitu al-Haqq yang Maha Suci atau oleh Ibn Sina menyebutnya wajib al-wujud bi zatih. Di sini ia disebut Cahaya segala cahaya (Nur al-Anwar), Cahaya Yang Meliputi (al-Nur al-Muhith), Cahaya Yang Menguasai (al-Nur al-Qayyum), Cahaya Yang Suci (al-Nur al-A'zam), Cahaya Yang Paling Tinggi (al-Nur al-A'la), Cahaya Maha Pemaksa (al-Nur al-Qahhar).
Hirarki cahaya punya kaitan dengan tingkat kesempurnaan wujud. Wujud yang paling dekat dengan "Cahaya dari segala cahaya" adalah wujud yang paling sempurna, sementara yang paling jauh adalah yang paling sedikit cahayanya. Dalam kaitan Cahaya dengan wujud-wujud yang terdapat di bawahnya, cahaya dapat dibagi menjadi "cahaya dalam-dan-bagi dirinya" dan "cahaya dalam-dan-bagi yang lain". Jenis cahaya kedua menyinari hal-hal yang lain dank arena itu merupakan "cahaya bagi yang lain" dan bukan bagi dirinya. Terlepas dari apakah bagi dirinya atau bagi yang lain, cahaya sepenuhnya nyata dank arena itu harus digambarkan sebagai hidup, karena hidup merupakan modus manifestasi diri yang aktual.
Doktrin tingkatan-tingkatan wujud sebagaimana disebutkan di atas merupakan salah satu ajaran pokok filsafat Isyraqi. Ajaran lain yang punya hubungan erat dengan ajaran tingkat-tingkat wujud, adalah teori kognisi, yang menyamakan antara pikiran dan wujud. Dari kedua teori itu muncul ajaran ketiga yang belakangan memainkan peranan cukup penting dalam pandangan-dunianya yang religius, yang dalam perkembangannya mendapat kontribusi dari pemikiran sufi, yakni ajaran "Alam Misal". Doktrin sufi ini menegaskan adanya dunia gambar-gambar ontologis yang di dalamnya realitas spiritual dari "alam atas" mengambil bentuk gambar-gambar kongkret dan jasad-jasad kasar dari alam materi ("alam bawah") menjadi jasad halus dan gambar-gambar. Ajaran ini dikembangkan oleh Ibn 'Arabi (1165-1240) menjadi ide tentang alam semesta sebagai "macro-anthropos" (al-insan al-akbar) atau "macropersona" (al-syakhsh al-akbar). Alam semesta dipolakan pada manusia. Kemampuan-kemampuan kognitif manusia diproyeksikan ke dalam struktur ontologis realitas yang tampak sebagai seseorang. Sebagaimana halnya manusia, alam pun memiliki persepsi inderawi, imajinasi, pemikiran rasional dan intuisi spiritual.
Suhrawardi mengembangkan dua ajaran pertama yakni tentang tingkatan-tingkatan wujud dan teori kognisi yang menekankan persamaan pikiran dengan wujud. Ia menolak pembedaan antara esensi dan eksistensi dan menyingkirkan dasar perbedaan yang dibuat para filsuf untuk membedakan Tuhan dengan manusia. Sejalan dengan ini, ia menolak pembedaan antara kemungkinan dan keniscayaan. Menurutnya, pembedaan ini semata-mata bersifat mental dan subyektif. Lebih lanjut ia menyerang ide dualitas antara form dan matter, dan merumuskan suatu doktrin tentang eksistensi murni yang hanya mentolerir pembedaan satu-satunya dalam eksistensi itu sendiri, yaitu "lebih atau kurang" atau "lebih sempurna atau kurang sempurna". Dengan demikian, Suhrawardi mengakui bahwa realitas itu adalah rangkaian kesatuan yang tunggal lagi homogen (one, homogeneous continuum) yang hanya diputus-putus oleh "lebih atau kurang" atau "tingkat-tingkat wujud". Keseluruhan Tuhan adalah wujud dan keseluruhan wujud adalah Tuhan. Dalam konteks ini tampak jelas paham panteistik Suhrawardi.
Di samping gambaran realitas monistik seperti itu, Suhrawardi juga mengembangkan suatu teori pengetahuan. Kognisi, menurutnya, tidaklah terjadi melalui "abstraksi" tetapi melalui kesadaran langsung atau kehadiran yang langsung dari obyek. Itu pula sebabnya mengapa pengetahuannya disebut pengetahuan kehadiran (al-'Ilm al-Huduri).
Akan halnya dengan kaitan antara Nur al-Anwar dengan wujud-wujud lain, Suhrawardi menjelaskan bahwa dari cahaya-Nya memancar sejumlah cahaya lain yang menjadi sendi-sendi alam materi dan alam ruhani. Tidaklah akal terpisah melainkan menyatu dengan cahaya-cahaya ini, yang menggerakkan planet-planet dan mengatur peredarannya. Karena itu tak sedikit filsuf melihat jika filsafat Isyraq didasarkan atas teori al-Farabi tentang Akal Sepuluh.
Meski demikian, tampaknya filsafat Isyraq tidak sekadar ingin sampai ke Akal Sepuluh sebagaimana pandangan al-Farabi, tetapi juga ingin menyatu dengan Jiwa Yang Suci. Yang terakhir ini adalah konsep sufi. Dengan begitu, filsafat Isyraq tidak puas hanya bertemu dengan Akal Kesepuluh semata, melainkan berharap untuk bisa menyatu secara langsung dengan Cahaya segala cahaya. Dengan kata lain, filsafat ini menyatukan pandangan al-ittihad (sufi) dengan al-ittisal (filsuf).
Pada hakikatnya, inti seluruh filsafat Isyraq adalah sifat dan penyebaran cahaya. Cahaya ditegaskan sebagai bersifat materi dan tidak membutuhkan definisi. Karena kalau "terang" diartikan sebagai sesuatu yang tidak membutuhkan definisi, maka demikian juga cahaya. Sebagai realitas yang meliputi segala sesuatu, cahaya menembus setiap entitas, baik yang fisik maupun non-fisik.
Fakhry juga menegaskan bahwa dilihat dari hubungannya dengan benda-benda lainnya, cahaya dapat dibagi menjadi cahaya bagi-dan-dalam dirinya dan cahaya dalam-dan-bagi yang lain. Yang terakhir menyinari hal-hal yang lain, karena itu merupakan cahaya bagi yang lain. Cahaya-cahaya itu membentuk sebuah hirarki. Di puncaknya terdapat Cahaya segala cahaya, kepada-Nyalah bergantung seluruh rentetan cahaya yang berada di bawahnya. Sebagai asal dan sumber niscaya dan harus bersifat Esa. Sebagai Yang Esa, Cahaya ini memunculkan cahaya yang lain melalui proses emanasi.
Sementara itu, Suhrawardi juga menyodorkan filsafat mantiq Isyraqi melalui zawq. Metodenya berbeda dengan kaum Peripatetik yang membangun mantiq atas dasar pembahasan semata. Metodenya juga berbeda dengan metode sufi yang tidak menerima bentuk pemikiran nazari. Suhrawardi membicarakan mantiq dengan dasar perasaan hati atau zawq dan berusaha memperoleh bukti dengan akal (nazari). Menurut Suhrawardi, akal tanpa intuisi dan illuminasi akan mandul dan setengah buta serta tidak bisa mencari sumber transenden dari pemikiran dan penalaran. Sementara intuisi tanpa persiapan logika dan latihan serta pengembangan kemampuan bernalar (rasional) akan tersesat. Lebih jauh lagi, intuisi tanpa itu semua tidak dapat mengungkapkan dirinya secara jelas dan metodis.
Penutup
Satu hal yang patut dicatat bahwa filsafat Isyraqi bukanlah suatu filsafat yang sistematik, oleh karena itu penguraiannya dalam bentuk sistematik sulit dilakukan. Itu pula sebabnya tak sedikit kalangan memandang jika filsafat Isyraqi terkesan rancu dan inkonsisten. Pada saat tertentu ia ingin mempertahankan komitmen akidah keagamaannya, tapi di saat yang lain ia ingin mengikuti tuntutan intelektual yang logis dan rasional.
Terlepas dari hal tersebut, yang jelas kehadiran filsafat ini tak lain dari reaksi sangat keras terhadap bentuk filsafat Islam masa itu yang dipandang telah mati bersamaan dengan wafatnya Ibn Rushd. Bentuk filsafat Peripatetik memiliki paradigma dominant dalam filsafat Islam, dan oleh sementara pihak melihat itulah bentuk finalitas filsafat Islam. Karena itu Suhrawardi tampil mengenalkan filsafat Isyraqi sebagai bentuk filsafat sejati.
Salah satu perbedaan pokok antara filsafat Isyraqi dengan filsafat Aristoteles ialah mengenai prioritas eksistensi (wujud) terhadap esensi (mahiyyah). Para filsuf Peripatetik—sebagaimana halnya kaum sufi—menganggap wujud sebagai yang utama, sementara esensi bersifat kebetulan. Suhrawardi keberatan terhadap pandangan ini dan ia berpendapat bahwa eksistensi tidak mempunyai realitas eksternal di luar akal yang mengabstrakkannya dari obyek-obyek. Sebaliknya, filsafat Peripatetik justru memandang bahwa eksistensi mempunyai realitas eksternal dan akal mengabstraksikan batasan sesuatu itu untuk kemudian menjadi esensinya. Di sini tampak jelas pikiran Suhrawardi sangat Platonis.
Sejalan dengan kian melemahnya filsafat Aristoteles pada akhir abad ke-6 H/12 M., maka unsur yang mengganti sekaligus mendominasi kehidupan pemikiran Muslim adalah kombinasi antara pemikiran sufisme Ibn 'Arabi dan Isyraqi Suhrawardi. Dua tokoh ini, yang hidup pada satu zaman yang sama, seorang meninggal di Damaskus dan yang satu di Aleppo, dan dari provinsi ini pula ajarannya menyebar ke dunia Muslim Barat, khususnya Persia.
Selama hampir tujuh abad terakhir tradisi Isyraqiyyah terus berlanjut dan berpengaruh kuat di Persia. Di sini pemikiran tersebut memainkan peranan penting dalam kehidupan Syi'ah selama pemerintahan Shafawi. Sementara di lingkungan Muslim Sunni, nyaris terabaikan. Padahal tak sedikit yang lahir belakangan justru menjadi pengulas terpenting karya-karya Suhrawardi. Sebut saja di antaranya, Syams al-Din Syahrazuni, Wudud Tabrizi dan Shadr al-Din al-Syirazi atau yang lebih terkenal dengan nama Mulla Shadra. Dari ulasan-ulasan tersebut, di samping menelaah langsung pemikiran Isyraqi Suhrawardi, tampaklah bahwa kebijakan Isyraqiyyah merupakan salah satu ajaran universal pemikiran Timur terpenting di abad-abad silam, karena ia merupakan salah satu pandangan filsafat perennial (perennial philosophy), maka seutuhnya diterima oleh hati yang berudara segar dan sifatnya kekal. Karena itu diharapkan dari kebijakan ini melahirkan satu aktualitas 'irfani yang nampaknya penting untuk zaman sekarang, sebagaimana ia telah mengambil peran penting di masa silam.
Pada abad teknologi dan industrial ini—dengan berbagai implikasi yang ditimbulkannya—mengakibatkan tak sedikit orang yang kehilangan makna dan orientasi hidupnya (meaning and purpose of life). Ini disebabkan antara lain karena kedangkalan visi spiritualitas masyarakat modern. Itu sebab, tawaran Suhrawardi dengan konsep filsafat Isyraqi—sudah barang tentu mudah dipahami oleh masyarakat modern—sedikit banyak perlu dipertimbangkan. Ia, sepanjang dipahami secara integral, akan dapat memberikan solusi terhadap tantangan yang ada.
Dengan kata lain, filsafat Islam sedapat mungkin diwujudkan dalam bahasa yang lebih mudah dicerna, agar gagasan vital yang dikandungnya dapat menjadi jembatan bagi kebudayaan baru. Dari situ, filsafat Islam dapat memberi "warna baru" kepada dunia dank arena itu, filsafat bukan lagi merupakan tujuan, tetapi sekadar sarana komunikasi dan alat agar manusia dapat memainkan perannya secara optimal dalam kancah kehidupan modern yang sangat dahsyat.